Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Lukas Enembe Divonis 8 Tahun Penjara, Denda Rp500 Juta dan Uang Pengganti Rp19,6 Miliar.
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis, 19 Oktober 2023, menggelar sidang putusan terdakwa Lukas Enembe dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur Provinsi Papua.
Awalnya, jadwal sidang tersebut akan dilakukan pada pukul 10.00 WIB, namun pada pukul 11.00 WIB belum juga dimulai. Menurut pantauan Tempo, masyarakat Papua juga memadati ruang persidangan.
Mereka hadir untuk mendengar putusan sidang yang akan ditajuhkan kepada Lukas Enembe sebagai mantan Gubernur Papua itu. Kursi-kursi telah terisi penuh oleh masyarakat Papua, kepolisian, hingga wartawan. Bahkan banyak juga yang berdiri memadati pintu belakang ruang persidangan.
Jaksa Penuntut Umum dan kuasa hukum Lukas Enembe telah duduk rapi menunggu hakim datang ke ruang sidang.
Sementara Lukas Enembe hadir di ruang persidangan dengan menggunakan kursi roda pada pukul 11.15 WIT.
Lukas Enembe terlihat mengenakan baju berwarna putih, dia dampingi oleh Kuasa Hukumnya. Saat duduk di depan Majelis Hakim, Lukas Enembe ditanya oleh Hakim apakah mendengar suaranya.
"Iya," kata Lukas Enembe dengan suara yang tidak begitu jelas.
Hakim mengatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hari ini Lukas Enembe akan mendengar putusan sidang atas kasusnya yaitu kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur Provinsi Papua.
"Hari ini saudara akan mendengar keputusan sidang. Kami harap saudara mendengar. Dan saya minta semuanya kondusif saat pembacaan putusan," kata Hakim Ketua.
Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dan majelis hakim lainnya kemudian membacakan amar putusan dengan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta atas kasus suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur Provinsi Papua.
Hakim Rianto mengatakan Lukas Enembe telah terbukti secara sah melawan hukum dan bersalah melakukan tindak pidanan korupsi secara bersama-sama dan gratifikasi.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Lukas Enembe 8 tahun dan denda sejumlah Rp500 juta. Jika denda tersebut tidak dibayarkan maka akan dikenakan 4 bulan penjara," kata Rianto.
Hakim juga menghukum Lukas Enembe membayar pidana denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan. Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti Rp 19,69 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
"Jika tidak pembayaran maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa, atau jika terpidana tidak punya uang yang cukup, maka dilakukan penahanan penjara selama dua tahun," kata hakim Rianto.
Lukas Enembe dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor.
Enembe juga dicabut hak politiknya untuk menduduki jabatan pemerintahan selama 5 tahun setelah menjalani pidana. Atas putusan tersebut Lukas langsung menyatakan menolak sementara Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pikir-pikir.
Lebih Ringan
Hukuman Lukas Enembe ini lebih ringan dari tuntutan penuntut umum. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Lukas Enembe dengan pidana 10 tahun 6 bulan kurungan penjara dan denda Rp 1 miliar dalam dugaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar. Hal tersebut dibacakan oleh jaksa pada persidangan lanjutan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, 13 Agustus 2023 lalu.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana 10 tahun penjara 6 bulan dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider dalam kurungan 6 bulan" kata Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, Rabu 13 September 2023.
Jaksa juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Lukas Enembe untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 47.833.485.350, selambat-lambatnya satu bulan setelah kasusnya memiliki hukum berkekuatan tetap. JPU juga menuntut terdakwa Lukas Enembe apabila tidak dapat membayar uang pengganti senilai Rp 47 miliar dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh harta berharga terdakwa akan disita.
Dinilai Tidak Adil
Terhadap vonis tersebut, Lukas hanya dapat berkata pelan. "Putusan itu tidak adil, saya tidak pernah korupsi dan tidak pernah terima suap," ujar Lukas yang duduk di kursi roda usai sidang.
Ditambahkannya, terhadap putusan tersebut, dengan nada lirih, Lukas berkata pelan. "Saya tolak putusan tersebut," kata Lukas.
Penolakan Lukas tersebut juga diucapkan di depan muka sidang. "Bapak Lukas menolak putusan hakim," ujar kuasa hukum Lukas, Petrus Bala Pattyona, yang mendampingi Lukas di muka sidang.
Terkait dengan putusan, Kuasa hukum Lukas lainnya, Otto Cornelis Kaligis mengatakan, pertimbangan hakim, yang menyatakan bahwa Lukas menerima suap dari pengusaha Pitun Enumbi itu tidak benar.
"Di persidangan tidak ada saksi yang menerangkan bahwa Pak Lukas menerima uang dari Pitun. Hakim hanya mengambil dari keterangan saksi di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kami punya rekaman persidangan, dimana tidak ada seorang saksi pun yang menjelaskan penerimaan uang dari Pitun," ujar Kaligis yang didampingi Antonius Eko Nugroho, Cosmas Refra dan Sapar Sujud.
Sedangkan menurut Petrus Bala Pattyona, keterangan saksi yang menjelaskan penerimaan uang dari Pitun itu penting, karena yang dipertimbangkan di persidangan itu, keterangan saksi di muka sidang, bukan keterangan saksi di BAP.
"Dan juga selama persidangan, Pitun itu tidak pernah dihadirkan di muka persidangan karena sedang sakit," tukas Petrus yang didampingi Cyprus A Tatali.
Ditambahkannya, tentang pertimbangan hakim bahwa Lukas menerima uang satu miliar sembilan ratus juta rupiah dari pengusaha Budi Sultan.
"Di persidangan, Budi Sultan menyatakan, dia dihubungi Sherly Susan yang akan pinjam duit satu miliar rupiah, dan memang dikirim Budi Sultan melalui Putri Sultan. Terus dimana hubungan dengan Pak Lukas," papar Petrus.
Dengan tegas Petrus mengatakan, putusan hakim itu putusan zholim.
Yang benar dari putusan hakim hari ini adalah tentang kepemilikan Hotel Angkasa yang dinyatakan hakim itu milik Rijatono Lakka, pengusaha, dan bukan milik Lukas. Karena selama ini KPK menuduh dan selalu nenyiarkan bahwa Hotel Angkasa itu milik Lukas.
"Yang senada dengan pembelaan kami adalah tentang Hotel Angkasa. Itu benar punya Rijatono berdasarkan bukti sertifikat hak miliknya, apalagi Rijatono membeli tanak dari anaknya Gubernur Isak Hindom tahun 1999, sedang Pak Lukas menjadi Gubernur Papua tahun 2013," tukas Petrus.
Sedangkan kuasa hukum Lukas lainnya, Antonius Eko Nugroho mengatakan, seharusnya hakim juga mempertimbangkan kondisi kesehatan Pak Lukas yang menderita ginjal kronis, stroke empat kali, dan jantung. (Albert Batlayeri)