Saturday, December 14, 2024

7:16 PM
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mantan Komisioner KPU RI Sebut Penggabungan Suara di Pilkada Jayawijaya Cacat Hukum.
Mantan Komisioner KPU RI Sebut Penggabungan Suara di Pilkada Jayawijaya Cacat Hukum

JAYAPURA, LELEMUKU.COM – Adanya upaya penggabungan suara dari pasangan calon nomor 1 dan 3 ke pasangan calon nomor 2 di tingkat kecamatan dalam Pilkada Jayawijaya menjadi perhatian sejumlah pihak termasuk Mantan Komisioner KPU RI periode 2007-2012, I Gusti Putu Artha.

I Gusti Putu Artha menyebut penggabungan suara dalam Pilkada Jayawijaya sangat bertentangan dengan undang-undang pemilu kepala daerah nomor 10 tahun 2016 serta PKPU 2017 dan PKPU 2018.

“Apabila penggabungan suara itu dilakukan di level rekapitulasi kecamatan atau kabupaten setelah pemungutan suara di TPS maka itu sama sekali bertentangan dengan undang-undang pemilu kepala daerah, baik itu undang-undang nomor 10 tahun 2016 maupun seluruh turunannya baik itu PKPU tahun 2017 tentang tata cara pemungutan suara di TPS dan PKPU tahun 2018 tentang tata cara rekapitulasi di tingkat kecamatan/distrik atau kabupaten dan provinsi dengan seluruh juknisnya. Jadi tidak dikenal penggabungan itu,” jelasnya.

Menurutnya, Kabupaten Jayawijaya memang menggunakan system noken dalam Pilkada 2024. Namun kesepakatan penggabungan itu harus dilaksanakan sebelum pemilihan di TPS. Bukan dilakukan saat rekapitulasi suara di tingkat kecamatan atau kabupaten.

“Jadi secara teknis kesepakatan itu sudah terjadi satu atau dua hari sebelum pencoblosan untuk diberikan kepada siapa suaranya itu. Jadi ketika hari pemungutan suara itu tinggal administrasinya yang dilakukan yakni pengisian melalui formulir D plano dan formulir CKWK suara itu diberikan kepada calon yang sudah disepakati. Jadi kesepakatan itu terjadi sebelum pemilihan, bukan setelah pemilihan,” tegasnya. 

Selanjutnya pada tingkatan rekapitulasi di kecamatan/distrik, maka tinggal menginput data yang dari TPS. “Jadi kalau penggabungan itu dilakukan setelah pemungutan suara dan sudah mengetahui hasilnya di TPS lalu digabung ke calon lain maka itu sangat bertentangan dengan hukum yang ada,” tuturnya. 

Lanjut I Gusti Putu Artha, penggabungan suara dari pasangan calon nomor 1 dan 3 ke pasangan nomor urut 2 tidak dapat dibenarkan sesuai hukum.

“Tidak bisa itu (gabung suara). Karena setelah selesai pemungutan suara di TPS, maka tidak dikenal lagi proses kompromi, negosiasi, penggabungan di tingkat kecamatan. Ini mengerikan sekali karena tidak berlandaskan pada regulasi yang ada,” tegasnya.

Menurutnya, jika kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi akan masuk dalam pokok permohonan dan menjadi perdebatan menarik di Mahkamah Konstitusi. “Kalau dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan pengacaranya bisa membuat konklusi hukum terhadap persoalan ini, maka saya percaya kasus ini akan masuk dalam pokok permohonan tidak kena dismissal,” ungkapnya.

Disamping itu, I Gusti Putu Artha juga menyoroti kinerja KPU yang mensahkan penggabungan suara tersebut karena penggabungan suara di tingkat kecamatan tidak memiliki dasar hukum.

“Ini menjadi pertanyaan kenapa penggabungan suara ini disahkan oleh KPU? Kalau dilaporkan maka KPU bisa kena DKPP dan diberhentikan itu,” tutupnya. 

Sebelumnya, pada rapat pleno rekapitulasi penghitungan perolehan suara tingkat kabupaten ditemukan adanya penggabungan suara dari pasangan calon nomor 1 dan 3 kepada calon nomor 2.

Sebagai contoh di Distrik Asotipo, pasangan calon nomor 1 dan 3 tak memperoleh suara alias 0, sementara pasangan nomor urut 2 mendapat 6.093 suara dan nomor 4 memperoleh 2.597 suara.

Dugaan

Atas dugaan penggabungan suara itu, saksi dari pasangan calon nomor 04 mengajukan keberatan dan meminta PPD Asotipo untuk mengklarifikasi penggabungan suara tersebut.

“Dari pemantauan kami ada pelanggaran yang terjadi saat pleno tingkat PPD, dimana ada penggabungan suara dari nomor 1 dan 3 ke nomor urut 2. Ini tentu merugikan calon lain dan demokrasi tidak ditegakan disini,” kata saksi nomor 04, Kamelius Logo.

Menjawab keberatan saksi 04, Ketua PPD Asotipo mengakui bahwa penggabungan suara dilakukan atas kesepakatan antara paslon nomor urut 1 dan 3. 

“Apa yang disampaikan saksi 04 memang benar bahwa setelah kami melakukan pleno (tingkat PPD) saksi paslon 1 dan 3 menginginkan penggabungan suara sehingga dilakukan penggabunagn suara,” kata Ketua PPD Asotipo, Enjoy Asso.

Menanggapi pernyataan PPD Asotipon Bawaslu Jayawijaya memerintahkan agar dilakukan perhitungan kembali di tingkat bawah tanpa adanya penggabungan suara.
“Ini harus diperbaiki, jadi kita satu langkah kebawah untuk di rekap ulang berdasarkan C hasil karena D hasil sudah ada kesalahan,” kata Komisioner Bawaslu Jayawijaya, Hongko Gombo.

Senada dengan itu, Melkainus Kambu memerintahkan PPD untuk melakukan rekap ulang berdasarkan C hasil, agar hasil dari TPS tidak berubah.

“Seharusnya kesepakatan (penggabungan) itu dilakukan sebelum pencoblosan di TPS, bukan di tingkat PPD. Kalau sudah di tingkat PPD maka itu jelas melanggar aturan karena dari semua pasal dalam undang-undang Pilkada, tidak ada termuat soal penggabungan suara di tingkat distrik,” jelasnya. Meski Bawaslu merekomendasikan perbaikan, namun rekomendasi itu tidak dilakukan oleh PPD dan justru disahkan oleh KPU. (WartaPlus.com)